Artikel ini bisa dipandang sebagai bacaan wajib bagi para site manager, bagian external relations, community relations, mereka yang biasa menangani projek community development (CD) perusahaan, juga mereka yang duduk di government relations. Kendati ilustrasi dan contoh kasusnya diangkat dari pengalaman melakukan projek-projek community engagement di berbagai wilayah operasi perusahaan tambang dan migas, namun tidak berarti mereka yang bekerja di sektor non-ekstraktif tidak bisa mengambil manfaat dan berbagai nasihat teknis dan detail tentang bagaimana menjalin hubungan baik dan berjangka panjang antara perusahaan dengan komunitas.
artikel ini ditulis beradasarkan pengalaman riset bertahun-tahun di wilayah operasi industri ekstraktif di berbagai belahan dunia. artikel ini dimulai dengan sebuah analisis mengenai kerangka hubungan perusahaan dengan komunitas, lalu dilanjutkan dengan berbagai isu seperti proses konsultasi publik, berbagai masalah hubungan antara pemegang konsesi, kontraktor dan komunitas, proses komunikasi dan negosiasi dengan komunitas, serta berbagai masalah menjalin hubungan dengan LSM dan pemerintah. Kemudian ditutup dengan sebuah bab mengenai rekomendasi perbaikan internal perusahaan agar proses hubungan itu berjalan efektif. Penulisnya, Luc Zandvliet dan Marry B. Anderson adalah direktur Corporate Community Engagement Project (CEP) dan direktur The Collaborative for Development Action, Inc. (CDA), sebuah lembaga non-profit yang memang banyak mengerjakan agenda-agenda engagement antara perusahaan dengan masyarakat, pemberdayaan kalangan NGO, dan sejumlah agenda riset. artikel ini menilai bahwa secara umum kebuntuan hubungan antara perushaan dengan komunitas terjadi karena tiga hal: Pertama, baik perusahaan maupun komunitas menggunakan logikanya sendiri-sendiri, baik dalam mempersepsikan diri, maupun dalam upaya memenuhi ekspektasi pemangku kepentingan masing-masing.
Perusahaan bersikukuh bahwa kehadiran dan operasinya jelas berdampak positif bagi kemajuan sosial-ekonomi komonitas sekitar. Sebaliknya, di sisi komunitas banyak dipenuhi dengan berbagai persepsi bahwa kehadiran dan operasi perusahaan malah membuat instabilitas sosial, fragmentasi kelompok, dan semakin menyudutkan eksistensi dan kehidupan mereka. Kedua, kegagalan pokok proses engagement terjadi karena ketidakadaan sikap jujur dan transparensi. Apalagi jika kekuatan baru bernama perusahaan itu lebih mendekatkan diri untuk membangun hubungan hanya dengan pemerintah, minoritas elit, dan melupakan soal keadilan distribusi sumbangan dan akses. Ketiga, secara internal perusahaan, sebagian besar tidak mampu mengomunikasikan detail kontribusi, upaya perbaikan kualitas kehidupan dan lebih parah lagi diakui bahwa mereka yang duduk di community relations department kebanyakan diposisikan hanya sebagai pelengkap; sebagai pasukan “pemadam kebakaran.” Karenanya mutual benefit sebagaimana diharapkan baik oleh perusahaan maupun komunitas menjadi sedemikian sulit dijamah, diproses dan dilembagakan. Kata kunci hubungan itu jelas adalah stakeholder engagement. artikel ini menjelaskan bahwa isu besar yang bisa disebut “biang keladi” kegagalan pembinaan hubungan dari sudut pandang manajemen internal perusahaan, antara lain: 1) Ketidakjelasan ide sesungguhnya apa yang hendak diraih dari relasi itu; 2) Perusahaan tidak mengetahui dengan pasti sesungguhnya apa definisi sukses menurut kacamata komunitas, pun sebaliknya komunitas tidak memiliki pemahaman yang baik dan benar mengenai kesuksesan dan keberlanjutan perusahaan; 3) Baik perusahaan maupun komunitas tidak memiliki dasar yang memadai mengenai ukuran perubahan, ukuran dampak sosial, ekonomi maupun lingkungan; 4) Baik perusahaan maupun komunitas sama-sama memiliki standar dan ukuran yang salah mengenai kontribusi perusahaan kepada kualitas kehidupan komunitas; dan 5) Rata-rata perusahaan berasumsi bahwa jika sudah merasa memberikan berbagai kontribusi seperti pembangunan jalan, sekolah dan berbagai kegiatan filantropi, bisa memuluskan seluruh tujuan bisnis perusahaan (hal 207-208).
Secara implisit artikel ini mengajak menempatkan perusahaan dan juga komunitas dalam posisi sama sebagai aktor perubahan. Untuk mencapai ke arah itu, jelas tidaklah mudah. Bagaimana pun posisi perusahaan jelas menjadi faktor yang memberi pengaruh kuat kepada kehidupan komunitas. Posisi kebanyakan komunitas hanyalah pemberi respons dan menjadi objek berbagai dampak (baik positif maupun negatif), karena relasi kuasa yang masih timpang di antara keduanya. Dan rata-rata perusahaan pun hanya bereaksi memperbaiki diri—entah secara substansial atau kosmetikal—ketika mendapatkan tekanan dari komunitas. Ini adalah pola hubungan yang lazim dan terus berulang.
Tampak jelas Luc Zandvliet dan Marry B. Anderson bekerja keras mencoba membuat evolusi hubungan menuju hubungan yang setara, sehingga mendorong perusahaan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan baru. Seperti judul yang dipakai, artikel ini mengenai berbagai kekeliruan yang dilakukan perusahaan dalam menjalin hubungan dengan komunitas, lalu banyak memberikan nasihat detail apa dan bagaimana langkah yang sebaiknya diambil. Satu kelebihan utama artikel ini adalah bahwa rumusan mengenai berbagai detail kekeliruan itu diperoleh tidak hanya dari kerangka teoretik, namun utamanya berasal dari proses riset dan fasilitasi lapangan. Tentunya berbagai rekomendasi itu jika diterapkan di Indonesia masihlah harus ditimbang dengan banyak catatan. Salah satu misal, rekomendasi untuk get it right dalam menjalin hubungan dengan komunitas, banyak didasarkan pada asumsi telah ada dan melembaganya regulasi dan perilaku pemerintah yang memang pro kepada tradisi fair dan transparent. Indonesia, dalam soal praktik industri pertambangan, selain masih memiliki banyak agenda perbaikan perilaku birokrat, juga masih banyak menyisakan soal ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan regulasi, khususnya di level peraturan daerah. Hal ini masih kurang diperhitungkan oleh Zanvliet dan Anderson. Kendati demikian, artikel ini memberikan arah yang sangat layak dipertimbangkan.
by : Taufik Rahman, Aktivis Lingkar Studi CSR
artikel ini ditulis beradasarkan pengalaman riset bertahun-tahun di wilayah operasi industri ekstraktif di berbagai belahan dunia. artikel ini dimulai dengan sebuah analisis mengenai kerangka hubungan perusahaan dengan komunitas, lalu dilanjutkan dengan berbagai isu seperti proses konsultasi publik, berbagai masalah hubungan antara pemegang konsesi, kontraktor dan komunitas, proses komunikasi dan negosiasi dengan komunitas, serta berbagai masalah menjalin hubungan dengan LSM dan pemerintah. Kemudian ditutup dengan sebuah bab mengenai rekomendasi perbaikan internal perusahaan agar proses hubungan itu berjalan efektif. Penulisnya, Luc Zandvliet dan Marry B. Anderson adalah direktur Corporate Community Engagement Project (CEP) dan direktur The Collaborative for Development Action, Inc. (CDA), sebuah lembaga non-profit yang memang banyak mengerjakan agenda-agenda engagement antara perusahaan dengan masyarakat, pemberdayaan kalangan NGO, dan sejumlah agenda riset. artikel ini menilai bahwa secara umum kebuntuan hubungan antara perushaan dengan komunitas terjadi karena tiga hal: Pertama, baik perusahaan maupun komunitas menggunakan logikanya sendiri-sendiri, baik dalam mempersepsikan diri, maupun dalam upaya memenuhi ekspektasi pemangku kepentingan masing-masing.
Perusahaan bersikukuh bahwa kehadiran dan operasinya jelas berdampak positif bagi kemajuan sosial-ekonomi komonitas sekitar. Sebaliknya, di sisi komunitas banyak dipenuhi dengan berbagai persepsi bahwa kehadiran dan operasi perusahaan malah membuat instabilitas sosial, fragmentasi kelompok, dan semakin menyudutkan eksistensi dan kehidupan mereka. Kedua, kegagalan pokok proses engagement terjadi karena ketidakadaan sikap jujur dan transparensi. Apalagi jika kekuatan baru bernama perusahaan itu lebih mendekatkan diri untuk membangun hubungan hanya dengan pemerintah, minoritas elit, dan melupakan soal keadilan distribusi sumbangan dan akses. Ketiga, secara internal perusahaan, sebagian besar tidak mampu mengomunikasikan detail kontribusi, upaya perbaikan kualitas kehidupan dan lebih parah lagi diakui bahwa mereka yang duduk di community relations department kebanyakan diposisikan hanya sebagai pelengkap; sebagai pasukan “pemadam kebakaran.” Karenanya mutual benefit sebagaimana diharapkan baik oleh perusahaan maupun komunitas menjadi sedemikian sulit dijamah, diproses dan dilembagakan. Kata kunci hubungan itu jelas adalah stakeholder engagement. artikel ini menjelaskan bahwa isu besar yang bisa disebut “biang keladi” kegagalan pembinaan hubungan dari sudut pandang manajemen internal perusahaan, antara lain: 1) Ketidakjelasan ide sesungguhnya apa yang hendak diraih dari relasi itu; 2) Perusahaan tidak mengetahui dengan pasti sesungguhnya apa definisi sukses menurut kacamata komunitas, pun sebaliknya komunitas tidak memiliki pemahaman yang baik dan benar mengenai kesuksesan dan keberlanjutan perusahaan; 3) Baik perusahaan maupun komunitas tidak memiliki dasar yang memadai mengenai ukuran perubahan, ukuran dampak sosial, ekonomi maupun lingkungan; 4) Baik perusahaan maupun komunitas sama-sama memiliki standar dan ukuran yang salah mengenai kontribusi perusahaan kepada kualitas kehidupan komunitas; dan 5) Rata-rata perusahaan berasumsi bahwa jika sudah merasa memberikan berbagai kontribusi seperti pembangunan jalan, sekolah dan berbagai kegiatan filantropi, bisa memuluskan seluruh tujuan bisnis perusahaan (hal 207-208).
Secara implisit artikel ini mengajak menempatkan perusahaan dan juga komunitas dalam posisi sama sebagai aktor perubahan. Untuk mencapai ke arah itu, jelas tidaklah mudah. Bagaimana pun posisi perusahaan jelas menjadi faktor yang memberi pengaruh kuat kepada kehidupan komunitas. Posisi kebanyakan komunitas hanyalah pemberi respons dan menjadi objek berbagai dampak (baik positif maupun negatif), karena relasi kuasa yang masih timpang di antara keduanya. Dan rata-rata perusahaan pun hanya bereaksi memperbaiki diri—entah secara substansial atau kosmetikal—ketika mendapatkan tekanan dari komunitas. Ini adalah pola hubungan yang lazim dan terus berulang.
Tampak jelas Luc Zandvliet dan Marry B. Anderson bekerja keras mencoba membuat evolusi hubungan menuju hubungan yang setara, sehingga mendorong perusahaan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan baru. Seperti judul yang dipakai, artikel ini mengenai berbagai kekeliruan yang dilakukan perusahaan dalam menjalin hubungan dengan komunitas, lalu banyak memberikan nasihat detail apa dan bagaimana langkah yang sebaiknya diambil. Satu kelebihan utama artikel ini adalah bahwa rumusan mengenai berbagai detail kekeliruan itu diperoleh tidak hanya dari kerangka teoretik, namun utamanya berasal dari proses riset dan fasilitasi lapangan. Tentunya berbagai rekomendasi itu jika diterapkan di Indonesia masihlah harus ditimbang dengan banyak catatan. Salah satu misal, rekomendasi untuk get it right dalam menjalin hubungan dengan komunitas, banyak didasarkan pada asumsi telah ada dan melembaganya regulasi dan perilaku pemerintah yang memang pro kepada tradisi fair dan transparent. Indonesia, dalam soal praktik industri pertambangan, selain masih memiliki banyak agenda perbaikan perilaku birokrat, juga masih banyak menyisakan soal ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan regulasi, khususnya di level peraturan daerah. Hal ini masih kurang diperhitungkan oleh Zanvliet dan Anderson. Kendati demikian, artikel ini memberikan arah yang sangat layak dipertimbangkan.
by : Taufik Rahman, Aktivis Lingkar Studi CSR
0 komentar:
Posting Komentar