Ketiga, pendekatan
represif yang masih didemonstrasikan oleh segelintir perusahaan biasanya
dibantu oleh aparat justru menimbulkan sikap bermusuhan dari pemangku
kepentinganya. Ken Saro-Wiwa seorang aktivis Nigeria yang bermasalah dengan
pemerintahan yang dituduhnya tak transparen dalam mengelola hasil eksploitasi
minyak dari Shell kemudian mati ”sia-sia” karena pemerintahnya melibatkan
tentara Nigeria untuk melakukan tindakan represif. Walau Shell bukanlah pihak
yang melakukan atau memerintahkan tindakan represi, kematian Saro-Wiwa jelas
mengakibatkan masalah baru bagi Shell di dunia internasional.
Protes dan
tekanan dari organisasi intenasional datang silih berganti—karena Shell dipandang membiarkan saja tindakan
represif itu akhirnya mengakibatkan
terganggunya operasi erusahaan dan
kinerja keuangannya di pasar modal. Contoh-contoh
di atas memperlihatkan bagaimana rumitnya
sebuah perusahaan yang sedang beroperasi bila mendapat tekanan luar biasa dari
para pemangku kepentingannya. Pemimpin
perusahaan sering meng-anggap enteng dalam menyikapi hubungan perusahaan dengan pemangku kepentingan. Akibatnya,
kesalahan yang dibuat perusahaan dalam mengelola
hubungan berdampak buruk bagi kegiatan operasi
maupun kinerja finansial perusahaan. Tekanan sosial yang hadir terbukti mampu membuat perusahaan mengalami kerugian finansial,
sulitnya mendapatkan pinjaman modal dari
pihak ketiga, hingga ancaman boikot
jangka panjang terhadap produk yang
dikeluarkannya. Sekali lagi, masalah Lapindo
Brantas adalah contoh gamblangnya. Dijual dengan nilai seratus rupiahpun, mungkin tidak
ada pihak yang ingin membeli karena
buruknya kinerja mereka. Dampak lainnya
akibat lumpur yang tidak kunjung berhenti, kompensasi yang harus dibayarkan hingga mencapai triliunan rupiah berpotensi menguras kas perusahaan. Dalam
hitung-hhitungan normal, perusahaan ini dipastikan akan bangkrut dan tutup. Kondisi
ini jelas memberikan implikasi logis bagi kegiatan bisnis pada masa yang akan datang.
Kegiatan usaha yang hendak dijalankan harus benar-benar mencerminkan upaya sungguh-sungguh yang mutlak
dilakukan untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif dari kegiatan operasi perusahaan untuk tujuan sosial,
ekonomi dan lingkungan perusahaan. Sudah
banyak contoh perusahaan yang “tersandung” akibat tekanan non-teknis sebagai
akibat tidak pekanya mereka terhadap kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan
yang terjadi di sekitar wilayah operasi
perusahaan. Pemimpin perusahaan sebagai pihak tertinggi dalam proses pengambilan
keputusan harus paham bahwa dalam mengambil keputusan, aspek non-teknislah juga
harus dipertimbangkan masak-masak.
Pemimpin perusahaan ketika hendak mulai melakukan kegiatan operasi perusahaan,
harus bisa memastikan bahwa dampak
negatif operasi perusahaan memang bisa ditekan seminimum mungkin, kalau bukan
hilang sama sekali. Pemimpin perusahaan yang baik dewasa ini, menurut Charan,
memang harus memiliki kemampuan yang berlipat ganda. Layaknya seorang Superman,
pemimpin perusahaan memang dituntut
jeli, paham dan mampu mengatasi setiap permasalahan perusahaan secara bijaksana dalam waktu
singkat. Pemimpin saat ini dituntut bak “dewa” yang mampu memberikan solusi
tepat bukan saja dalam menghadapi masalah internal, namun juga masalah eksternal.
Bukan lagi masalah manajerial internal semata yang harus diselesaikan, namun
bagaimana pemimpin mampu membangun keseimbangan dengan para pemangku kepentingannya—internal
maupun eksternal—sehingga dapat menjamin bahwa bisnis yang dijalaninya dapat
terus berlanjut untuk mendukung proses pembangunan berkelanjutan. Jelas, ini
bukan pekerjaan mudah karena bekerja dengan pemangku kepentingan untuk mencapai
keseimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan adalah sebuah keterampilan.
Keterampilan ini bukan hanya didapat
dengan cara membaca kumpulan teori atau kisah sukses yang kemudian
dipraktikkan. Lebih daripada itu bagaimana pemimpin dapat selalu rajin untuk
melihat kondisi nyata di lapangan karena akan banyak perbedaan yang timbul.
Lebih lanjut, pemimpin juga hendaknya bisa memulai sebuah strategi bisnis yang
lebih mendasari pada konsep-konsep ilmu pengetahuan, karena dengan dengan hal ini pemimpin punya acuan “pasti” bagaimana
harus bertindak dan bergerak. Sudah bukan jamannya lagi, seorang pemimpin hanya
mengandalkan intuisi bisnis semata. Apalagi, manajemen pemangku kepentingan adalah
hal yang relatif baru. Karenanya, para pemimpin bisnis harus berupaya keras
untuk mempelajarinya. Terkadang harus dengan membongkar kembali apa yang mereka
percaya (proses unlearn) lalu mempelajari hal yang benar-benar bertentangan
dengan itu (proses relearn). Apa yang diungkapkan oleh Ram Charan dalam
keseluruhan isi buku ini hendaknya bisa menjadi bahan renungan bagi pemimpin
perusahaan dewasa ini untuk tidak melakukan tindakan yang konyol dan bodoh
dalam menghadapi teknanan sosial yang mungkin—atau lebih tepatnya: pasti—hadir.
Lebih jauh dari pada itu, kemampuan manajerial “tradisional” pemimpin juga harus
diimbangi dengan kemampuan “baru” untuk melakukan praktik tanggung jawab sosial
perusahaan yang substansial. Dengan hal ini, jelas jaminan keberlanjutan bisnis
perusahaan akan terus hadir di masa yang akan datang. Para pemimpin bisnis
harus selalu ingat bahwa sukses perusahaan tidak lagi ditentukan dengan kinerja
perusahaan dengan meningkatnya nilai saham perusahaan di lantai bursa atau
meningkatkan pembagian deviden bagi para pemegang saham dalam jangka pendek.
Saat ini, perusahaan dapat berhasil bila mampu menciptakan keseimbangan sosial,
ekonomi dan lingkungan untuk mewujudkan kemitraan tiga pihak antara perusahaan,
pemerintah dan masyarakat dalam mendukung proses pembangunan berkelanjutan.
Hanya dengan cara demikian sajalah perusahaan akan meraih keuntungan dalam
jangka panjang. Keberhasilan perusahaan untuk menjadi sustainable
companyditentukan dari apakah ia bersedia untuk turut dalam arus sustainable
development. Tekanan sosial yang mengarah ke sana harus disambut dengan hangat
sebagai peluang perbaikan, bukan dihindari dengan represi atau tipuan.
0 komentar:
Posting Komentar