1. Tantangan dan Peluang CSR di Indonesia
• Tantangan 1: pemahaman tentang CSR yang masih beragam. Sebagian besar perusahaan dan pemangku kepentingan di Indonesia belum memiliki pemahaman atas CSR yang sesuai dengan definisi CSR arus utama atau sebagaimana yang dipahami di level global.
• Tantangan 2: transisi menuju CSR yang strategik. Para manajer dan direktur CSR di Indonesia menghadapi tantangan untuk membuktikan bahwa CSR bukanlah sekadar biaya, melainkan adalah investasi yang menguntungkan pemangku kepentingan dan perusahaan.
• Tantangan 3: kepentingan politisi atas “dana CSR” mengakibatkan banyak regulasi tentang CSR tidak ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, melainkan untuk kepentingan diri dan golongannya.
• Tantangan 4: terlampau sedikit jumlah kelompok masyarakat sipil, terutama LSM, yang memiliki ideologi, pengetahuan dan keterampilan untuk membantu perusahaan. Kebanyakan LSM enggan berhubungan dengan perusahaan, memilih untuk bersikap anti, serta menerapkan cara-cara kuno untuk berinteraksi: demonstrasi. Tantangan dan Peluang
• Tantangan 5: kelompok-kelompok masyarakat yang memandang CSR sekadar sebagai donasi memiliki ekspektasi yang sangat tinggi atas “dana CSR” perusahaan, terutama di tempat-tempat di mana pemerintah pusat dan daerah gagal menjangkau mereka.
• Tantangan 6: CSR-washing atau penunggangan CSR untuk kepentingan pengelabuan citra. Banyak perusahaan yang menonjolkan aktivitas sosial tertentunya, tanpa melakukan perbaikan substansial
dalam manajemen dampak.
• Tantangan 7: sebagian besar media massa belum memiliki pemahaman yang benar atas CSR. Di satu sisi mau tampil kritis terhadap perusahaan, di sisi lain mengharapkan perusahaan mengiklankan “CSR” mereka, tanpa peduli apakah kandungan informasinya benar dan berimbang.
• Peluang 1: minat akademisi atas CSR meningkat dengan pesat. Banyak sekali mahasiswa tingkat sarjana, magister dan doktoral yang meminati CSR. Sekolah pascasarjana dalam konsentrasi CSR sudah didirikan, dan ada kedudukan profesor dalam bidang CSR.
• Peluang 2: pertukaran informasi mengenai CSR yang semakin banyak terjadi dan mudah diakses. Ada banyak seminar, pelatihan, dan lokakarya CSR di tingkat nasional dan regional, dengan peminat yang terus meningkat jumlahnya. Buku dan artikel CSR semakin mudah didapat.
• Peluang 3: tercapainya kesepakatan global dalam petunjuk CSR, yaitu ISO 26000. Mulai 1 November 2010, dunia sudah menyepakati definisi, prinsip, subjek inti, dan tata cara CSR diintegrasikan ke dalam organisasi. Perusahaan-perusahaan progresif telah mulai melakukan gap analysis dan membuat roadmap pemenuhannya.
• Peluang 4: telah diidentifikasikannya berbagai perusahaan progresif, dari berbagai industri. Banyak penghargaan yang diberikan—terlepas dari mutu penyelenggaraannya—telah membuat perusahaan-perusahaan bisa saling belajar dari perusahaan-perusahaan “model” itu.
• Peluang 5: telah mulai bersemi LSM-LSM ang bekerja bersama perusahaan, tanpa kehilangan independensi dan tetap mempertahankan visi-misinya. Bahkan, berbagai LSM asing sudah memiliki direktur untuk fungsi corporate engagement, yang bukan sekadar dikaitkan dengan fund raising.
• Peluang 6: UU PPLH yang sangat progresif, yang semakin mendorong perusahaan untuk mengelola dampak lingkungannya dengan baik. Peringkat PROPER semakin dianggap serius sebagai pertanda kinerja lingkungan, dan sebagian kinerja sosial.
• Peluang 7: berkembangnya pelaporan berkelanjutan yang didorong oleh NCSR. Walaupun belum cukup banyak jumlahnya (sekitar 40 di tahun 2012), perusahaan-perusahaan yang CSR dianggap progresif biasanya ditandai dengan keterbukaan yang komprehensif dengan menggunakan standar GRI.
• Peluang 8: tumbuhnya wacana dan praktik kewirausahaan dan bisnis sosial, yang semakin mendorong inovasi dalam CSR (berlomba dalam kebajikan) dan membuka lebih banyak peluang kemitraan dalam penyelesaian masalah sosial dan lingkungan.
• Tantangan 1: pemahaman tentang CSR yang masih beragam. Sebagian besar perusahaan dan pemangku kepentingan di Indonesia belum memiliki pemahaman atas CSR yang sesuai dengan definisi CSR arus utama atau sebagaimana yang dipahami di level global.
• Tantangan 2: transisi menuju CSR yang strategik. Para manajer dan direktur CSR di Indonesia menghadapi tantangan untuk membuktikan bahwa CSR bukanlah sekadar biaya, melainkan adalah investasi yang menguntungkan pemangku kepentingan dan perusahaan.
• Tantangan 3: kepentingan politisi atas “dana CSR” mengakibatkan banyak regulasi tentang CSR tidak ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, melainkan untuk kepentingan diri dan golongannya.
• Tantangan 4: terlampau sedikit jumlah kelompok masyarakat sipil, terutama LSM, yang memiliki ideologi, pengetahuan dan keterampilan untuk membantu perusahaan. Kebanyakan LSM enggan berhubungan dengan perusahaan, memilih untuk bersikap anti, serta menerapkan cara-cara kuno untuk berinteraksi: demonstrasi. Tantangan dan Peluang
• Tantangan 5: kelompok-kelompok masyarakat yang memandang CSR sekadar sebagai donasi memiliki ekspektasi yang sangat tinggi atas “dana CSR” perusahaan, terutama di tempat-tempat di mana pemerintah pusat dan daerah gagal menjangkau mereka.
• Tantangan 6: CSR-washing atau penunggangan CSR untuk kepentingan pengelabuan citra. Banyak perusahaan yang menonjolkan aktivitas sosial tertentunya, tanpa melakukan perbaikan substansial
dalam manajemen dampak.
• Tantangan 7: sebagian besar media massa belum memiliki pemahaman yang benar atas CSR. Di satu sisi mau tampil kritis terhadap perusahaan, di sisi lain mengharapkan perusahaan mengiklankan “CSR” mereka, tanpa peduli apakah kandungan informasinya benar dan berimbang.
• Peluang 1: minat akademisi atas CSR meningkat dengan pesat. Banyak sekali mahasiswa tingkat sarjana, magister dan doktoral yang meminati CSR. Sekolah pascasarjana dalam konsentrasi CSR sudah didirikan, dan ada kedudukan profesor dalam bidang CSR.
• Peluang 2: pertukaran informasi mengenai CSR yang semakin banyak terjadi dan mudah diakses. Ada banyak seminar, pelatihan, dan lokakarya CSR di tingkat nasional dan regional, dengan peminat yang terus meningkat jumlahnya. Buku dan artikel CSR semakin mudah didapat.
• Peluang 3: tercapainya kesepakatan global dalam petunjuk CSR, yaitu ISO 26000. Mulai 1 November 2010, dunia sudah menyepakati definisi, prinsip, subjek inti, dan tata cara CSR diintegrasikan ke dalam organisasi. Perusahaan-perusahaan progresif telah mulai melakukan gap analysis dan membuat roadmap pemenuhannya.
• Peluang 4: telah diidentifikasikannya berbagai perusahaan progresif, dari berbagai industri. Banyak penghargaan yang diberikan—terlepas dari mutu penyelenggaraannya—telah membuat perusahaan-perusahaan bisa saling belajar dari perusahaan-perusahaan “model” itu.
• Peluang 5: telah mulai bersemi LSM-LSM ang bekerja bersama perusahaan, tanpa kehilangan independensi dan tetap mempertahankan visi-misinya. Bahkan, berbagai LSM asing sudah memiliki direktur untuk fungsi corporate engagement, yang bukan sekadar dikaitkan dengan fund raising.
• Peluang 6: UU PPLH yang sangat progresif, yang semakin mendorong perusahaan untuk mengelola dampak lingkungannya dengan baik. Peringkat PROPER semakin dianggap serius sebagai pertanda kinerja lingkungan, dan sebagian kinerja sosial.
• Peluang 7: berkembangnya pelaporan berkelanjutan yang didorong oleh NCSR. Walaupun belum cukup banyak jumlahnya (sekitar 40 di tahun 2012), perusahaan-perusahaan yang CSR dianggap progresif biasanya ditandai dengan keterbukaan yang komprehensif dengan menggunakan standar GRI.
• Peluang 8: tumbuhnya wacana dan praktik kewirausahaan dan bisnis sosial, yang semakin mendorong inovasi dalam CSR (berlomba dalam kebajikan) dan membuka lebih banyak peluang kemitraan dalam penyelesaian masalah sosial dan lingkungan.
0 komentar:
Posting Komentar