Selasa, 23 April 2013

Jangan Bermimpi Menjadi CEO Bila Tidak Memiliki Pengetahuan dan Keterampilan CSR. (Part II)


Ketiga, pendekatan represif yang masih didemonstrasikan oleh segelintir perusahaan biasanya dibantu oleh aparat justru menimbulkan sikap bermusuhan dari pemangku kepentinganya. Ken Saro-Wiwa seorang aktivis Nigeria yang bermasalah dengan pemerintahan yang dituduhnya tak transparen dalam mengelola hasil eksploitasi minyak dari Shell kemudian mati ”sia-sia” karena pemerintahnya melibatkan tentara Nigeria untuk melakukan tindakan represif. Walau Shell bukanlah pihak yang melakukan atau memerintahkan tindakan represi, kematian Saro-Wiwa jelas mengakibatkan masalah baru bagi Shell di dunia internasional. 
Protes dan tekanan dari organisasi intenasional datang silih berganti—karena  Shell dipandang membiarkan saja tindakan represif  itu akhirnya mengakibatkan terganggunya operasi  erusahaan dan kinerja keuangannya di pasar modal.  Contoh-contoh di atas memperlihatkan bagaimana  rumitnya sebuah perusahaan yang sedang beroperasi bila mendapat tekanan luar biasa dari para pemangku  kepentingannya. Pemimpin perusahaan sering meng-anggap enteng dalam menyikapi hubungan  perusahaan dengan pemangku kepentingan. Akibatnya, kesalahan yang dibuat perusahaan dalam  mengelola hubungan berdampak buruk bagi kegiatan  operasi maupun kinerja finansial perusahaan. Tekanan  sosial yang hadir terbukti mampu membuat  perusahaan mengalami kerugian finansial, sulitnya  mendapatkan pinjaman modal dari pihak ketiga,  hingga ancaman boikot jangka panjang terhadap  produk yang dikeluarkannya. Sekali lagi, masalah  Lapindo Brantas adalah contoh gamblangnya. Dijual  dengan nilai seratus rupiahpun, mungkin tidak ada  pihak yang ingin membeli karena buruknya kinerja  mereka. Dampak lainnya akibat lumpur yang tidak kunjung berhenti, kompensasi yang harus dibayarkan  hingga mencapai triliunan rupiah berpotensi  menguras kas perusahaan. Dalam hitung-hhitungan normal, perusahaan ini dipastikan akan bangkrut dan tutup. Kondisi ini jelas memberikan implikasi logis bagi kegiatan bisnis pada masa yang akan datang. Kegiatan usaha yang hendak dijalankan harus benar-benar mencerminkan upaya sungguh-sungguh yang mutlak dilakukan untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif dari kegiatan  operasi perusahaan untuk tujuan sosial, ekonomi dan  lingkungan perusahaan. Sudah banyak contoh perusahaan yang “tersandung” akibat tekanan non-teknis sebagai akibat tidak pekanya mereka terhadap kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan yang terjadi di  sekitar wilayah operasi perusahaan. Pemimpin perusahaan sebagai pihak tertinggi dalam proses pengambilan keputusan harus paham bahwa dalam mengambil keputusan, aspek non-teknislah juga harus  dipertimbangkan masak-masak. Pemimpin perusahaan ketika hendak mulai melakukan kegiatan operasi perusahaan, harus bisa memastikan bahwa dampak negatif operasi perusahaan memang bisa ditekan seminimum mungkin, kalau bukan hilang sama sekali. Pemimpin perusahaan yang baik dewasa ini, menurut Charan, memang harus memiliki kemampuan yang berlipat ganda. Layaknya seorang Superman,  pemimpin perusahaan memang dituntut jeli, paham dan mampu mengatasi setiap permasalahan  perusahaan secara bijaksana dalam waktu singkat. Pemimpin saat ini dituntut bak “dewa” yang mampu memberikan solusi tepat bukan saja dalam menghadapi masalah internal, namun juga masalah eksternal. Bukan lagi masalah manajerial internal semata yang harus diselesaikan, namun bagaimana pemimpin mampu membangun keseimbangan dengan para pemangku kepentingannya—internal maupun eksternal—sehingga dapat menjamin bahwa bisnis yang dijalaninya dapat terus berlanjut untuk mendukung proses pembangunan berkelanjutan. Jelas, ini bukan pekerjaan mudah karena bekerja dengan pemangku kepentingan untuk mencapai keseimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan adalah sebuah keterampilan. Keterampilan ini bukan hanya  didapat dengan cara membaca kumpulan teori atau kisah sukses yang kemudian dipraktikkan. Lebih daripada itu bagaimana pemimpin dapat selalu rajin untuk melihat kondisi nyata di lapangan karena akan banyak perbedaan yang timbul. Lebih lanjut, pemimpin juga hendaknya bisa memulai sebuah strategi bisnis yang lebih mendasari pada konsep-konsep ilmu pengetahuan, karena dengan dengan hal  ini pemimpin punya acuan “pasti” bagaimana harus bertindak dan bergerak. Sudah bukan jamannya lagi, seorang pemimpin hanya mengandalkan intuisi bisnis semata. Apalagi, manajemen pemangku kepentingan adalah hal yang relatif baru. Karenanya, para pemimpin bisnis harus berupaya keras untuk mempelajarinya. Terkadang harus dengan membongkar kembali apa yang mereka percaya (proses unlearn) lalu mempelajari hal yang benar-benar bertentangan dengan itu (proses relearn). Apa yang diungkapkan oleh Ram Charan dalam keseluruhan isi buku ini hendaknya bisa menjadi bahan renungan bagi pemimpin perusahaan dewasa ini untuk tidak melakukan tindakan yang konyol dan bodoh dalam menghadapi teknanan sosial yang mungkin—atau lebih tepatnya: pasti—hadir. Lebih jauh dari pada itu, kemampuan manajerial “tradisional” pemimpin juga harus diimbangi dengan kemampuan “baru” untuk melakukan praktik tanggung jawab sosial perusahaan yang substansial. Dengan hal ini, jelas jaminan keberlanjutan bisnis perusahaan akan terus hadir di masa yang akan datang. Para pemimpin bisnis harus selalu ingat bahwa sukses perusahaan tidak lagi ditentukan dengan kinerja perusahaan dengan meningkatnya nilai saham perusahaan di lantai bursa atau meningkatkan pembagian deviden bagi para pemegang saham dalam jangka pendek. Saat ini, perusahaan dapat berhasil bila mampu menciptakan keseimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk mewujudkan kemitraan tiga pihak antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat dalam mendukung proses pembangunan berkelanjutan. Hanya dengan cara demikian sajalah perusahaan akan meraih keuntungan dalam jangka panjang. Keberhasilan perusahaan untuk menjadi sustainable companyditentukan dari apakah ia bersedia untuk turut dalam arus sustainable development. Tekanan sosial yang mengarah ke sana harus disambut dengan hangat sebagai peluang perbaikan, bukan dihindari dengan represi atau tipuan.

0 komentar:

Posting Komentar