This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 26 April 2013

A MICROECONOMIC MODEL OF CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

Makalah ini membahas mekanisme ekonomi di balik tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam Model ekonomi mikro perusahaan. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan penyebab potensial dari fenomena yang diamati dari kepatuhan beberapa perusahaan. Kami menyelidiki bagaimana asumsi tentang biaya dan manfaat mempengaruhi perilaku CSR melalui persediaan modal nama perusahaan yang besar. Perusahaan harus menyeimbangkan biaya marjinal dan manfaat dari investasi dalam CSR. Kami mencirikan keseimbangan dan memeriksa statika komparatif dan dinamika dari model parameter. Akhirnya, kami menghubungkan beberapa Hasil model dengan literatur empiris mengenai CSR

CSR di Indonesia: Tantangan, Peluang, Strategi dan Manajemen Investasi Sosial Strategik dalam Pengembangan Masyarakat

1. Tantangan dan Peluang CSR di Indonesia
• Tantangan 1: pemahaman tentang CSR yang  masih beragam. Sebagian besar perusahaan  dan pemangku kepentingan di Indonesia  belum memiliki pemahaman atas CSR yang  sesuai dengan definisi CSR arus utama atau  sebagaimana yang dipahami di level global.
• Tantangan 2: transisi menuju CSR yang  strategik. Para manajer dan direktur CSR di  Indonesia menghadapi tantangan untuk membuktikan bahwa CSR bukanlah sekadar  biaya, melainkan adalah investasi yang  menguntungkan pemangku kepentingan dan  perusahaan.
• Tantangan 3: kepentingan politisi atas “dana CSR”  mengakibatkan banyak regulasi tentang CSR tidak  ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan  berkelanjutan, melainkan untuk kepentingan diri dan golongannya.
• Tantangan 4: terlampau sedikit jumlah kelompok  masyarakat sipil, terutama LSM, yang memiliki  ideologi, pengetahuan dan keterampilan untuk  membantu perusahaan. Kebanyakan LSM enggan  berhubungan dengan perusahaan, memilih untuk  bersikap anti, serta menerapkan cara-cara kuno untuk  berinteraksi: demonstrasi.   Tantangan dan Peluang
• Tantangan 5: kelompok-kelompok masyarakat yang memandang CSR sekadar sebagai donasi memiliki  ekspektasi yang sangat tinggi atas “dana CSR”  perusahaan, terutama di tempat-tempat di mana  pemerintah pusat dan daerah gagal menjangkau  mereka.
• Tantangan 6: CSR-washing atau penunggangan CSR untuk kepentingan pengelabuan citra. Banyak perusahaan yang menonjolkan aktivitas sosial  tertentunya, tanpa melakukan perbaikan substansial
dalam manajemen dampak.
• Tantangan 7: sebagian besar  media massa belum memiliki  pemahaman yang benar atas  CSR. Di satu sisi mau tampil  kritis terhadap perusahaan, di  sisi lain mengharapkan  perusahaan mengiklankan  “CSR” mereka, tanpa peduli  apakah kandungan  informasinya benar dan  berimbang.
• Peluang 1: minat akademisi atas CSR  meningkat dengan pesat. Banyak sekali  mahasiswa tingkat sarjana, magister dan  doktoral yang meminati CSR. Sekolah  pascasarjana dalam konsentrasi CSR sudah  didirikan, dan ada kedudukan profesor dalam  bidang CSR.
• Peluang 2: pertukaran informasi mengenai  CSR yang semakin banyak terjadi dan mudah  diakses. Ada banyak seminar, pelatihan, dan  lokakarya CSR di tingkat nasional dan regional,  dengan peminat yang terus meningkat  jumlahnya. Buku dan artikel CSR semakin  mudah didapat.
• Peluang 3: tercapainya kesepakatan global  dalam petunjuk CSR, yaitu ISO 26000. Mulai 1 November 2010, dunia sudah menyepakati definisi, prinsip, subjek inti, dan tata cara CSR  diintegrasikan ke dalam organisasi.  Perusahaan-perusahaan progresif telah mulai  melakukan gap analysis dan membuat  roadmap pemenuhannya.
• Peluang 4: telah diidentifikasikannya  berbagai perusahaan progresif, dari berbagai  industri. Banyak penghargaan yang  diberikan—terlepas dari mutu  penyelenggaraannya—telah membuat  perusahaan-perusahaan bisa saling belajar  dari perusahaan-perusahaan “model” itu.
• Peluang 5: telah mulai bersemi LSM-LSM ang bekerja bersama perusahaan, tanpa  kehilangan independensi dan tetap  mempertahankan visi-misinya. Bahkan, berbagai LSM asing sudah memiliki direktur  untuk fungsi corporate engagement, yang bukan sekadar dikaitkan dengan fund raising.
• Peluang 6: UU PPLH yang sangat progresif, yang semakin mendorong perusahaan untuk mengelola dampak lingkungannya dengan  baik. Peringkat PROPER semakin dianggap serius sebagai pertanda kinerja lingkungan, dan sebagian kinerja sosial. 
• Peluang 7: berkembangnya pelaporan berkelanjutan yang didorong oleh NCSR. Walaupun belum cukup  banyak jumlahnya (sekitar 40 di tahun 2012),  perusahaan-perusahaan yang CSR dianggap progresif  biasanya ditandai dengan keterbukaan yang  komprehensif dengan menggunakan standar GRI.
• Peluang 8: tumbuhnya wacana dan praktik kewirausahaan dan bisnis sosial, yang semakin  mendorong inovasi dalam CSR (berlomba dalam  kebajikan) dan membuka lebih banyak peluang  kemitraan dalam penyelesaian masalah sosial dan  lingkungan. 


Rabu, 24 April 2013

Getting It Right Making Corporate-Community Relations Work

    Artikel ini bisa dipandang sebagai bacaan wajib bagi para  site manager, bagian  external relations, community relations,  mereka yang biasa menangani projek  community development  (CD) perusahaan, juga mereka yang duduk di  government relations. Kendati ilustrasi dan contoh kasusnya diangkat dari pengalaman melakukan  projek-projek  community engagement  di berbagai wilayah operasi perusahaan tambang  dan migas, namun tidak berarti mereka yang bekerja di sektor non-ekstraktif  tidak bisa mengambil manfaat dan berbagai nasihat teknis dan detail tentang bagaimana menjalin hubungan baik dan berjangka panjang antara perusahaan dengan komunitas.
    artikel ini ditulis beradasarkan pengalaman riset bertahun-tahun di wilayah operasi industri ekstraktif di berbagai belahan dunia. artikel ini dimulai dengan sebuah  analisis  mengenai kerangka  hubungan perusahaan dengan komunitas, lalu dilanjutkan dengan berbagai isu seperti proses konsultasi publik, berbagai masalah hubungan antara pemegang  konsesi, kontraktor dan komunitas, proses komunikasi dan negosiasi dengan komunitas, serta berbagai masalah menjalin hubungan dengan LSM dan pemerintah. Kemudian ditutup dengan sebuah bab mengenai rekomendasi perbaikan internal perusahaan agar proses hubungan itu berjalan efektif. Penulisnya, Luc Zandvliet dan Marry B. Anderson adalah direktur Corporate Community Engagement Project (CEP) dan direktur  The Collaborative for Development Action, Inc.  (CDA), sebuah lembaga non-profit yang memang banyak mengerjakan agenda-agenda  engagement  antara perusahaan dengan masyarakat, pemberdayaan kalangan NGO, dan sejumlah agenda riset. artikel ini menilai bahwa secara umum kebuntuan hubungan antara perushaan dengan komunitas terjadi karena tiga hal: Pertama, baik perusahaan maupun komunitas menggunakan logikanya sendiri-sendiri, baik dalam mempersepsikan diri, maupun dalam upaya  memenuhi ekspektasi pemangku kepentingan masing-masing.
    Perusahaan bersikukuh bahwa kehadiran dan operasinya jelas berdampak positif bagi kemajuan sosial-ekonomi komonitas sekitar. Sebaliknya, di sisi komunitas banyak dipenuhi dengan berbagai persepsi  bahwa kehadiran dan operasi perusahaan malah membuat instabilitas sosial, fragmentasi kelompok, dan semakin menyudutkan eksistensi dan kehidupan mereka. Kedua, kegagalan pokok proses  engagement  terjadi karena ketidakadaan sikap jujur dan transparensi. Apalagi jika kekuatan baru bernama perusahaan itu lebih mendekatkan diri untuk membangun hubungan  hanya dengan pemerintah, minoritas elit, dan melupakan soal keadilan distribusi sumbangan dan akses. Ketiga, secara internal perusahaan, sebagian besar tidak mampu mengomunikasikan detail kontribusi, upaya perbaikan kualitas kehidupan dan lebih parah lagi diakui bahwa mereka yang duduk di community relations department kebanyakan diposisikan hanya sebagai pelengkap; sebagai pasukan “pemadam kebakaran.” Karenanya  mutual benefit  sebagaimana diharapkan baik oleh perusahaan maupun komunitas menjadi sedemikian sulit dijamah, diproses dan dilembagakan. Kata kunci hubungan itu jelas adalah  stakeholder engagement.  artikel ini menjelaskan bahwa isu besar yang  bisa disebut “biang keladi” kegagalan  pembinaan hubungan  dari sudut pandang manajemen internal perusahaan,  antara lain: 1) Ketidakjelasan ide sesungguhnya apa yang hendak diraih dari relasi itu; 2) Perusahaan tidak mengetahui dengan  pasti sesungguhnya apa definisi sukses menurut kacamata komunitas, pun sebaliknya komunitas tidak memiliki pemahaman yang baik dan benar mengenai kesuksesan dan keberlanjutan perusahaan; 3) Baik perusahaan maupun komunitas tidak memiliki dasar yang memadai mengenai ukuran perubahan, ukuran dampak  sosial, ekonomi maupun lingkungan; 4) Baik perusahaan maupun komunitas sama-sama memiliki standar dan ukuran yang salah mengenai kontribusi perusahaan kepada kualitas kehidupan komunitas;  dan  5) Rata-rata perusahaan berasumsi bahwa jika sudah merasa memberikan berbagai kontribusi seperti pembangunan jalan, sekolah dan berbagai kegiatan filantropi, bisa memuluskan seluruh tujuan bisnis perusahaan (hal 207-208).
    Secara implisit artikel ini mengajak menempatkan perusahaan dan juga komunitas dalam posisi sama sebagai aktor perubahan. Untuk mencapai ke arah itu, jelas  tidaklah mudah. Bagaimana pun posisi perusahaan jelas menjadi faktor yang memberi pengaruh kuat kepada kehidupan komunitas. Posisi kebanyakan  komunitas hanyalah pemberi respons  dan menjadi objek berbagai dampak (baik positif maupun negatif), karena relasi kuasa yang masih timpang di antara keduanya.  Dan rata-rata perusahaan pun hanya bereaksi memperbaiki diri—entah secara substansial atau kosmetikal—ketika mendapatkan tekanan dari komunitas.  Ini adalah pola hubungan yang lazim dan terus berulang.
    Tampak jelas Luc Zandvliet dan Marry B. Anderson bekerja keras mencoba membuat evolusi hubungan menuju hubungan yang setara, sehingga mendorong perusahaan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan baru. Seperti judul yang dipakai, artikel ini mengenai berbagai kekeliruan yang dilakukan perusahaan dalam menjalin hubungan dengan komunitas, lalu banyak memberikan nasihat detail apa dan bagaimana langkah yang sebaiknya diambil. Satu kelebihan utama artikel ini adalah bahwa rumusan mengenai berbagai detail kekeliruan itu diperoleh tidak hanya dari kerangka teoretik, namun utamanya berasal dari proses riset dan fasilitasi lapangan. Tentunya berbagai rekomendasi itu jika diterapkan di Indonesia masihlah  harus ditimbang dengan banyak  catatan.  Salah satu misal,  rekomendasi  untuk  get it right  dalam menjalin hubungan dengan komunitas, banyak didasarkan pada asumsi telah ada  dan melembaganya regulasi dan perilaku pemerintah yang memang pro kepada tradisi  fair  dan  transparent. Indonesia, dalam soal praktik industri pertambangan, selain masih memiliki banyak agenda perbaikan perilaku birokrat, juga masih banyak menyisakan soal  ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan regulasi, khususnya di level peraturan daerah.  Hal ini masih kurang diperhitungkan oleh Zanvliet dan Anderson.  Kendati demikian, artikel ini memberikan arah yang sangat layak dipertimbangkan.

by : Taufik Rahman, Aktivis Lingkar Studi CSR

Selasa, 23 April 2013

Jangan Bermimpi Menjadi CEO Bila Tidak Memiliki Pengetahuan dan Keterampilan CSR. (Part II)


Ketiga, pendekatan represif yang masih didemonstrasikan oleh segelintir perusahaan biasanya dibantu oleh aparat justru menimbulkan sikap bermusuhan dari pemangku kepentinganya. Ken Saro-Wiwa seorang aktivis Nigeria yang bermasalah dengan pemerintahan yang dituduhnya tak transparen dalam mengelola hasil eksploitasi minyak dari Shell kemudian mati ”sia-sia” karena pemerintahnya melibatkan tentara Nigeria untuk melakukan tindakan represif. Walau Shell bukanlah pihak yang melakukan atau memerintahkan tindakan represi, kematian Saro-Wiwa jelas mengakibatkan masalah baru bagi Shell di dunia internasional. 
Protes dan tekanan dari organisasi intenasional datang silih berganti—karena  Shell dipandang membiarkan saja tindakan represif  itu akhirnya mengakibatkan terganggunya operasi  erusahaan dan kinerja keuangannya di pasar modal.  Contoh-contoh di atas memperlihatkan bagaimana  rumitnya sebuah perusahaan yang sedang beroperasi bila mendapat tekanan luar biasa dari para pemangku  kepentingannya. Pemimpin perusahaan sering meng-anggap enteng dalam menyikapi hubungan  perusahaan dengan pemangku kepentingan. Akibatnya, kesalahan yang dibuat perusahaan dalam  mengelola hubungan berdampak buruk bagi kegiatan  operasi maupun kinerja finansial perusahaan. Tekanan  sosial yang hadir terbukti mampu membuat  perusahaan mengalami kerugian finansial, sulitnya  mendapatkan pinjaman modal dari pihak ketiga,  hingga ancaman boikot jangka panjang terhadap  produk yang dikeluarkannya. Sekali lagi, masalah  Lapindo Brantas adalah contoh gamblangnya. Dijual  dengan nilai seratus rupiahpun, mungkin tidak ada  pihak yang ingin membeli karena buruknya kinerja  mereka. Dampak lainnya akibat lumpur yang tidak kunjung berhenti, kompensasi yang harus dibayarkan  hingga mencapai triliunan rupiah berpotensi  menguras kas perusahaan. Dalam hitung-hhitungan normal, perusahaan ini dipastikan akan bangkrut dan tutup. Kondisi ini jelas memberikan implikasi logis bagi kegiatan bisnis pada masa yang akan datang. Kegiatan usaha yang hendak dijalankan harus benar-benar mencerminkan upaya sungguh-sungguh yang mutlak dilakukan untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif dari kegiatan  operasi perusahaan untuk tujuan sosial, ekonomi dan  lingkungan perusahaan. Sudah banyak contoh perusahaan yang “tersandung” akibat tekanan non-teknis sebagai akibat tidak pekanya mereka terhadap kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan yang terjadi di  sekitar wilayah operasi perusahaan. Pemimpin perusahaan sebagai pihak tertinggi dalam proses pengambilan keputusan harus paham bahwa dalam mengambil keputusan, aspek non-teknislah juga harus  dipertimbangkan masak-masak. Pemimpin perusahaan ketika hendak mulai melakukan kegiatan operasi perusahaan, harus bisa memastikan bahwa dampak negatif operasi perusahaan memang bisa ditekan seminimum mungkin, kalau bukan hilang sama sekali. Pemimpin perusahaan yang baik dewasa ini, menurut Charan, memang harus memiliki kemampuan yang berlipat ganda. Layaknya seorang Superman,  pemimpin perusahaan memang dituntut jeli, paham dan mampu mengatasi setiap permasalahan  perusahaan secara bijaksana dalam waktu singkat. Pemimpin saat ini dituntut bak “dewa” yang mampu memberikan solusi tepat bukan saja dalam menghadapi masalah internal, namun juga masalah eksternal. Bukan lagi masalah manajerial internal semata yang harus diselesaikan, namun bagaimana pemimpin mampu membangun keseimbangan dengan para pemangku kepentingannya—internal maupun eksternal—sehingga dapat menjamin bahwa bisnis yang dijalaninya dapat terus berlanjut untuk mendukung proses pembangunan berkelanjutan. Jelas, ini bukan pekerjaan mudah karena bekerja dengan pemangku kepentingan untuk mencapai keseimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan adalah sebuah keterampilan. Keterampilan ini bukan hanya  didapat dengan cara membaca kumpulan teori atau kisah sukses yang kemudian dipraktikkan. Lebih daripada itu bagaimana pemimpin dapat selalu rajin untuk melihat kondisi nyata di lapangan karena akan banyak perbedaan yang timbul. Lebih lanjut, pemimpin juga hendaknya bisa memulai sebuah strategi bisnis yang lebih mendasari pada konsep-konsep ilmu pengetahuan, karena dengan dengan hal  ini pemimpin punya acuan “pasti” bagaimana harus bertindak dan bergerak. Sudah bukan jamannya lagi, seorang pemimpin hanya mengandalkan intuisi bisnis semata. Apalagi, manajemen pemangku kepentingan adalah hal yang relatif baru. Karenanya, para pemimpin bisnis harus berupaya keras untuk mempelajarinya. Terkadang harus dengan membongkar kembali apa yang mereka percaya (proses unlearn) lalu mempelajari hal yang benar-benar bertentangan dengan itu (proses relearn). Apa yang diungkapkan oleh Ram Charan dalam keseluruhan isi buku ini hendaknya bisa menjadi bahan renungan bagi pemimpin perusahaan dewasa ini untuk tidak melakukan tindakan yang konyol dan bodoh dalam menghadapi teknanan sosial yang mungkin—atau lebih tepatnya: pasti—hadir. Lebih jauh dari pada itu, kemampuan manajerial “tradisional” pemimpin juga harus diimbangi dengan kemampuan “baru” untuk melakukan praktik tanggung jawab sosial perusahaan yang substansial. Dengan hal ini, jelas jaminan keberlanjutan bisnis perusahaan akan terus hadir di masa yang akan datang. Para pemimpin bisnis harus selalu ingat bahwa sukses perusahaan tidak lagi ditentukan dengan kinerja perusahaan dengan meningkatnya nilai saham perusahaan di lantai bursa atau meningkatkan pembagian deviden bagi para pemegang saham dalam jangka pendek. Saat ini, perusahaan dapat berhasil bila mampu menciptakan keseimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk mewujudkan kemitraan tiga pihak antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat dalam mendukung proses pembangunan berkelanjutan. Hanya dengan cara demikian sajalah perusahaan akan meraih keuntungan dalam jangka panjang. Keberhasilan perusahaan untuk menjadi sustainable companyditentukan dari apakah ia bersedia untuk turut dalam arus sustainable development. Tekanan sosial yang mengarah ke sana harus disambut dengan hangat sebagai peluang perbaikan, bukan dihindari dengan represi atau tipuan.