Selasa, 23 April 2013

Jangan Bermimpi Menjadi CEO Bila Tidak Memiliki Pengetahuan dan Keterampilan CSR. (Part I)

Delapan keterampilan yang harus dimiliki seorang pemimpin perusahaan seperti yang diungkapkan oleh  Ram Charan menyimpan sebuah pesan penting bahwa seorang pemimpin bukan saja harus memiliki kemampuan manajerial yang  mumpuni, namun juga harus mampu membawa  perusahaan untuk lebih beretika, fokus pada tujuan jangka panjang dalam ranah ekonomi, sosial dan  lingkungan.. Titik berat pembahasannya bukan lagi  menyangkut masalah manajerial, masalah sumberdaya  manusia perusahaan atau sistem internal semata,  namun penulis telah merambah kepada aspek  eksternal beserta komponennya yang juga dianggap  memiliki pengaruh penting bagi keberlanjutan  perusahaan di masa yang akan datang.

Pemimpin masa depan harus menyukai  tekanan sosial yang hadir dalam perusahaan termasuk intervensi dari pemerintah. Bila tidak menyukainya,  maka pemimpin akan disudutkan dalam kondisi bertahan dan itu dianggap tidak sehat untuk iklim bisnis ke depannya. Di sinilah dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang mampu  mengembangkan kerangka kerja dan metodologi yang  efektif sehingga meminimalisasi tekanan sosial  tersebut.  
Dewasa ini, perusahaan bukan saja dihadapi oleh tekanan-tekanan teknis semata. Tekanan non-teknis dianggap juga memiliki pengaruh besar bagi keberlanjutan bisnis di masa yang akan datang. Beberapa contoh hadirnya tekanan sosial kepada  perusahaan sebagai akibat sering “abainya” perusahaan dalam menyikapi aspek non-teknis adalah pertama,perusahaan tidak pernah memahami dampak dari kegiatan operasinya. Padahal dalam kegiatan operasinya, sekalipun dalam skala kecil dampak dari kegiatan ini tetap saja akan timbul. Masalah ini sering muncul terutama bagi perusahaan di bidang ekstraktif.
Contohnya seperti perusahaan perkebunan kelapa  sawit dan perusahaan HPH yang masih banyak menggunakan teknik tebang bakar dalam membuka  lahannya yang mengakibatkan munculnya kebakaran hutan. Akibatnya bukan saja asap yang  membumbung, yang mengakibatkan penyakit ISPA bagi masyarakat sekitar, namun kebakaran hutan yang merusak ekosistem hutan secara keseluruhan dan  mengakibatkan hutan mengalami penurunan kemampuan dalam menangkap air dan menghasilkan udara bersih.

Kedua,perusahaan jarang melakukan konsultasi publik dengan pemangku kepentingannya. Akibatnya, ketika  sebuah kejadian yang berdampak kepada pemangku  kepentingan timbul, sikap saling bemusuhan pun  hadir. Padahal, melakukan sebuah konsultasi publik  sebetulnya merupakan syarat wajib bagi perusahaan  untuk mendapatkan social license to operate dari para pemangku kepentingannya. Ijin sosial ini penting untuk menjaga keberlanjutan kinerja perusahaan untuk masa mendatang dan menjamin keuntungan finansial setiap tahunnya. Bisa disimak bagaimana kasus Lumpur Lapindo Brantas yang tidak tuntas  hingga detik ini, karena perusahaan tampaknya sama sekali tidak pernah melakukan konsultasi dengan  pemangku kepentingannya. Akibatnya, apa yang  hendak dibuat perusahaan selalu salah di mata masyarakat dan selalu menimbulkan kecurigaan.


0 komentar:

Posting Komentar